Jumat, 06 Agustus 2010

CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY What is and Benefits for Corporate

Abstraksi
Memang diakui, bahwa di satu sisi sektor industri atau korporasi-korporasi skala besar telah mampu memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, tetapi di sisi lain ekploitasi sumber-sumber daya alam oleh sektor industri seringkali menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan yang parah. Situasi tersebut diperparah oleh kultur perusahaan yang didominasi cara berpikir dan perilaku ekonomi yang bersifat profit-oriented semata.
Adanya cara pandang yang salah dunia bisnis dalam menjalankan usahanya, misalnya, optimalisasi peraihan keuntungan dianggap sebagai satu-satunya cara perusahaan untuk tetap bertahan. Cara pandang seperti ini bisa saja benar, tetapi telah terbukti bahwa membenarkan perusahaan untuk melakukan apa saja demi melindungi kepentingan mengakumulasi keuntungannya termasuk praktek-praktek yang secara moral tidak benar, adalah tidak dapat dibenarkan sama sekali.
Kondisi tersebut memunculkan kesadaran baru tentang pentingnya melaksanakan apa yang kita kenal sebagai Corporate Social Responsibility (CSR). Pemahaman itu memberikan garis tuntunan (guideline) bahwa korporasi bukan lagi sebagai entitas yang hanya mementingkan dirinya sendiri saja (selfish) sehingga ter-alienasi atau mengasingkan diri dari lingkungan masyarakat di tempat mereka bekerja, melainkan sebuah entitas usaha yang wajib melakukan adaptasi kultural dengan lingkungan sosialnya.

Key words : Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, Tripple Bottom Line, Sustainability
JEL : D, D21, D23

1. Latar Belakang
Corporate Social Responsibility (CSR) dalam beberapa tahun belakangan ini menjadi buah bibir dan primadona bagi perusahaan di berbagai negara termasuk Indonesia. Banyak perusahaan yang seakan berlomba mengekspose diri dalam kegiatan yang berorientasi sosial, mereka bergiat mencitrakan diri sebagai perusahaan yang peduli terhadap masalah lingkungan dan sosial. Sebut saja beberapa nama seperti PT. Media Group dengan Program Peduli Tsunami Aceh dan Nias, PT. Unilever Indonesia dengan program Lifebouy Handwashing Campaign, Rinso Bersih itu baik, PT. Kalbe Farma dengan Program Puskesmas Keliling Procold, Promag mulia, AQUA dengan 1=10 Liter, serta banyak lagi perusahaan yang memiliki Program CSR yang beragam.
Di sisi lain, kita dikejutkan dengan berita melubernya lumpur dan gas panas di Kabupaten Sidoarjo yang disebabkan eksploitasi gas PT Lapindo Brantas. Bencana memaksa penduduk harus ke rumah sakit. Perusahaan pun terkesan lebih mengutamakan penyelamatan aset-asetnya daripada mengatasi soal lingkungan dan sosial yang ditimbulkan.
Fenomena-fenomena seperti inilah yang kemudian memunculkan diskursus atau wacana tentang tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR), ada yang menyebutnya corporate philanthropy. Sepanjang yang dapat ditangkap kesan yang muncul tentang corporate social responsibility atau tanggung jawab sosial perusahaan selama ini adalah berupa aksi-aksi bagi sumbangan untuk kaum miskin, korban bencana alam, pemberantasan penyakit menular, atau pendidikan anak kolong dan aktivitas lainnya yang mirip dengan itu.
Harus diakui, kepentingan utama bisnis adalah menghasilkan keuntungan maksimal bagi shareholders. Fokus itu membuat perusahaan yang berpikiran pendek dengan segala cara berupaya melakukan hal-hal yang bisa meningkatkan keuntungan. Kompetisi semakin ketat dan konsumen yang kian rewel sering menjadi faktor pemicu perusahaan mengabaikan etika dalam berbisnis.
Melihat fakta ini, apakah CSR telah menjadi mainstrem baru dalam manajemen perusahaan yang selama ini identik dengan lembaga usaha yang profit Oriented? Ataukah hal ini hanya menjadi bagian dari strategi pemasaran untuk menarik perhatian konsumen?

2. Kerangka Pemikiran
Tanggungjawab sosial atau corporate social responsibility (CSR) perusahaan dapat didefinisikan sebagai mekanisme bagi suatu organisasi untuk secara sukarela mengintegrasikan perhatian terhadap lingkungan dan sosial ke dalam operasinya dan interaksinya dengan stakeholders, yang melebihi tanggungjawab organisasi di bidang hukum (Aggraini, 2006).
Tanggung jawab sosial secara lebih sederhana dapat dikatakan sebagai timbal balik perusahaan kepada masyarakat dan lingkungan sekitarnya karena perusahaan telah mengambil keuntungan atas masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Dimana dalam proses pengambilan keuntungan tersebut seringkali perusahaan menimbulkan kerusakan lingkungan ataupun dampak sosial lainnya.
Berikut ini beberapa definisi CSR yang cukup berpengaruh dan sering dirujuk di antaranya definisi yang disampaikan oleh World Council for Sustainable Development, dan versi Bank Dunia. WBCSD (World Business Council for Sustainable Development (2000)) mendefinisikan CSR sebagai :
“The continuing commitment by business to behave ethically and contribute to economic development while improving the quality of work life of workforce and their families as well as of the local community and social large’’

Menurut Bank Dunia
“CSR is the commitment of business to contribute to sustainable economic development working with employees and their representatives, the local community and society at large to improve quality of life, in ways that are both good for business and good for development”.

Ricky W. Griffin dan Michael W. Pustay (2005) dalam bukunya International Business menyebutkan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan adalah kumpulan kewajiban organisasi untuk melindungi dan memajukan masyarakat di mana organisasi berada.
Bambang Wahyutomo (2003) mengatakan bahwa tanggung jawab sosial pelaku usaha adalah komitmen dan kemampuan dunia usaha untuk melaksanakan hak dan kewajiban sosial terhadap lingkungan sosialnya sebagai kerangka menciptakan masyarakat peduli (Caring Society) dan kemitraan.
Dari beberapa definisi di atas bila ditilik lebih jauh sebenarnya terkandung inti yang hampir sama, yakni selalu mengacu pada kenyataan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan merupakan bagian penting dari strategi bisnis yang berkaitan erat dengan keberlangsungan (sustainability) usaha dalam jangka panjang. Di samping itu, apa yang dilakukan dalam implementasi dari tanggung jawab sosial tersebut tidak berdasarkan pada tekanan dari masyarakat, pemerintah, atau pihak lain, tetapi berasal dari kehendak, komitmen, dan etika moral dunia bisnis sendiri yang tidak dipaksakan.
Di tengah pengertian yang beranekaragam tersebut, konsep CSR yang banyak dijadikan rujukan oleh berbagai pihak sebagaimana yang dikemukakan oleh Teguh S. Pambudi dalam tulisannya di majalah SWA edisi Desember 2005 adalah pemikiran Elkington, yakni tentang tripple bottom line. Menurutnya CSR adalah segitiga kehidupan stakeholder yang harus diberi atensi oleh korporasi di tengah upayanya mengejar keuntungan atau profit, yaitu ekonomi, lingkungan, dan sosial. Hubungan itu diilustrasikan dalam bentuk segitiga.








Pendapat tentang CSR yang lebih komprehensif menurut Teguh S. Pambudi adalah dilontarkan oleh Prince of Wales International Business Forum lewat lima pilar, yaitu :
1. Building human capital, menyangkut kemampuan perusahaan untuk memiliki dukungan sumber daya manusia yang andal (internal). Di sini perusahaan dituntut melakukan pemberdayaan, biasanya melalui community development.
2. Strengthening economies: memberdayakan ekonomi komunitas.
3. Assessing social. Maksudnya perusahaan menjaga keharmonisan dengan masyarakat sekitar agar tak menimbulkan konflik.
4. Encouraging good governance. Artinya perusahaan dikelola dalam tata pamong/birokrasi yang baik.
5. Protecting the environment, yaitu perusahaan harus mengawal kelestarian lingkungan.
Sebenarnya apa yang diharapkan dari pelaksanaan CSR? Selain pemberdayaan masyarakat, dari sisi perusahaan jelas agar operasional berjalan lancar tanpa gangguan. Jika hubungan masyarakat dan perusahaan tidak mesra, bisa dipastikan ada masalah. Manfaat CSR (Suhandari M. Putri, 2007), bagi perusahaan antara lain :
1. Mempertahankan dan mendongkrak reputasi serta citra merek perusahaan
2. Mendapatkan lisensi untuk beroperasi secara sosial
3. Mereduksi risiko bisnis perusahaan
4. Melebarkan akses sumber daya bagi operasional usaha
5. Membuka peluang pasar yang lebih luas
6. Mereduksi biaya, misalnya terkait dampak pembuangan limbah
7. Memperbaiki hubungan dengan regulator
8. Meningkatkan semangat dan produktivitas karyawan
9. Peluang mendapatkan penghargaan

Sedangkan menurut Muhammad Arief Effendi (2007), ada empat manfaat yang diperoleh bagi perusahaan dengan mengimplementasikan CSR, yaitu :
1. Keberadaan perusahaan dapat tumbuh dan berkelanjutan dan perusahaan mendapatkan citra (image) yang positif dari masyarakat luas.
2. Perusahaan lebih mudah memperoleh akses terhadap kapital (modal).
3. Perusahaan dapat mempertahankan sumber daya manusia (human resources) yang berkualitas.
4. Perusahaan dapat meningkatkan pengambilan keputusan pada hal-hal yang kritis (critical decision making) dan mempermudah pengelolaan manajemen risiko (risk management).

Menurut Hendrik Budi Untung (2008), CSR mempunyai dua sifat, yaitu yang mengatur keluar atau eksternal dan internal. CSR internal menyangkut transparansi yang melahirkan Good Corporate Governance(GCG). GCG adalah mekanisme bagaimana sumber daya perusahaan dialokasikan menurut aturan “hak” dan “kuasa”.
Adapun CSR eksternal, menyangkut lingkungan tempat perusahaan berada. Perusahaan harus memperhatikan polusi, limbah maupun partisipasi lainnya. Stakeholder perusahaan diluar meliputi masyarakat, pemasok, pelanggan, konsumen dan pemerintah.
Sesungguhnya substansi keberadaan CSR adalah dalam rangka memperkuat keberlanjutan perusahaan itu sendiri dengan jalan membangun kerjasama antar stakeholder yang difasilitasi perusahaan tersebut dengan menyusun program-program pengembangan masyarakat sekitarnya. Atau dalam pengertian kemampuan perusahaan untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya, komunitas dan stakeholder yang terkait dengannya, baik lokal, nasional, maupun global. Karenanya pengembangan CSR ke depan seyogianya mengacu pada konsep pembangunan yang berkelanjutan.
CSR sebagai sebuah gagasan, perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu nilai perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya (financial) saja. Tapi tanggung jawab perusahaan harus berpijak pada tripple bottom lines. Di sini bottom lines lainnya selain finansial juga adalah sosial dan lingkungan. Karena kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh secara berkelanjutan (sustainable). Keberlanjutan perusahaan hanya akan terjamin apabila, perusahaan memperhatikan dimensi sosial dan lingkungan hidup. Sudah menjadi fakta bagaimana resistensi masyarakat sekitar, di berbagai tempat dan waktu muncul ke permukaan terhadap perusahaan yang dianggap tidak memperhatikan aspek-aspek sosial, ekonomi dan lingkungan hidupnya.
Seringkali kepentingan perusahaan diseberangkan dengan kepentingan masyarakat. Sesungguhnya perusahaan dan masyarakat memiliki saling ketergantungan yang tinggi. Saling ketergantungan antara perusahaan dan masyarakat berimplikasi bahwa baik keputusan bisnis dan kebijakan sosial harus mengikuti prinsip berbagi keuntungan, yaitu pilihan-pilihan harus menguntungkan kedua belah pihak. Saling ketergantungan antara sebuah perusahaan dengan masyarakat memiliki dua bentuk (Mas Achmad Daniri, 2007). Pertama, inside-out linkages, bahwa perusahaan memiliki dampak terhadap masyarakat melalui operasi bisnisnya secara normal. Dalam hal ini perusahaan perlu memerhatikan dampak dari semua aktivitas produksinya, aktivitas pengembangan sumber daya manusia, pemasaran, penjualan, logistik, dan aktivitas lainnya.
Kedua, outside-in-linkages, di mana kondisi sosial eksternal juga memengaruhi perusahaan, menjadi lebih baik atau lebih buruk. Ini meliputi kuantitas dan kualitas input bisnis yang tersedia-sumber daya manusia, infrastruktur transportasi; peraturan dan insentif yang mengatur kompetisi-seperti kebijakan yang melindungi hak kekayaan intelektual, menjamin transparansi, mencegah korupsi, dan mendorong investasi; besar dan kompleksitas permintaan daerah setempat; ketersediaan industri pendukung di daerah setempat, seperti penyedia jasa dan produsen mesin.
Terdapat tiga pilar penting untuk merangsang pertumbuhan CSR yang mampu mendorong pembangunan ekonomi berkelanjutan (Dyah Pitaloka, 2007) :
1. Mencari bentuk CSR yang efektif untuk mencapai tujuan yang diharapkan dengan memperhatikan unsur lokalitas
2. Mengkalkulasi kapasitas sumber daya manusia dan institusi untuk merangsang pelaksanaan CSR
3. Peraturan serta kode etik dalam dunia usaha

Menurut Wibisono (2007) perusahaan memperoleh beberapa keuntungan karena menerapkan tanggunjawab sosialnya antara lain: untuk mempertahankan dan mendongkrak reputasi dan brand image perusahaan; layak mendapatkan ijin untuk beroperasi (social license to operate), mereduksi risiko bisnis perusahaan; melebarkan akses ke sumber daya; membentangkan akses menuju market; mereduksi biaya; memperbaiki hubungan dengan stakeholders, memperbaiki hubungan dengan regulator; dan meningkatkan semangat dan produktifitas karyawan.
Para pelaku bisnis atau dunia bisnis dapat menerapkan tanggung jawab sosial terhadap pihak-pihak yang berkepentingan atau stakeholder organisasi, lingkungan alam, dan kesejahteraan sosial. Memang harus diakui bahwa beberapa organisasi usaha mengetahui tanggung jawab mereka di ketiga bidang tersebut dan berusaha dengan serius untuk mencapainya, sedangkan yang lain menekankan hanya pada satu atau dua bidang. Di samping itu, tidak sedikit yang sama sekali tidak tahu dan tak mau menggubris tanggung jawab sosial tersebut.
• Stakeholder Organisasi
Stakeholder organisasi adalah orang dan institusi yang dipengaruhi langsung oleh praktik organisasi tertentu dan memiliki kepentingan terhadap kinerja organisasi itu. Sebagian besar pelaku bisnis yang berjuang untuk bertanggung jawab terhadap stakeholder berkonsentrasi dan berfokus pada tiga komponen, yakni pelanggan, pegawai, dan investor. Barulah kemudian memilih stakeholder lain yang terkait atau penting bagi organisasi dan berusaha untuk mengenali kebutuhan dan asa mereka.
Organisasi atau perusahaan yang bertanggung jawab sosial terhadap pelanggan, berusaha (1) memperlakukan mereka secara adil, jujur, dan bermartabat; (2) menawarkan produk yang bermutu dengan jaminan harga yang sesuai, aman terhadap kesehatan, dan keamanan mereka; (3) menghormati integritas dan kebudayaan mereka.
Organisasi/perusahaan yang bertanggung jawab secara sosial terhadap pegawai yang merupakan aset yang amat berharga ini diwujudkan, antara lain dengan memperlakukan mereka secara adil (tidak diskriminatif), terbuka, bermartabat, tulus, menjadikan mereka sebagai bagian dari tim serta menghargai kebebasan dan kebutuhan dasar mereka, melindungi dari kecelakaan, gangguan kesehatan di tempat kerja. Di samping itu, juga mendorong dan membantu para pegawai untuk mengembangkan skil dan pengetahuan yang relevan dan dapat dipakai di tempat lain. Peka terhadap problem penggangguran yang serius dan bekerja sama dengan pemerintah, kelompok pekerja, lembaga lain dalam mengatasi masalah kehilangan pekerjaan ini.
• Lingkungan Alam
Bidang kedua yang tak kalah penting dalam tanggung jawab sosial adalah berkaitan dengan lingkungan alam. Beroperasinya suatu perusahaan apalagi yang sudah menggurita di berbagai sektor pasti akan memberi dampak terhadap lingkungan alam, terutama dampak negatifnya. Tanggung jawab sosial perusahaan terhadap lingkungan alam ini diwujudkan dalam bentuk kepedulian terhadap masa depan bumi. Kepedulian ini bukanlah cerminan kepentingan green consumerism semata-mata yang membela keamanan dan kenyamanan konsumen masa kini, tetapi untuk kepentingan generasi mendatang sebagai stakeholder atau moral patien. Sehubungan dengan itu, ketika beroperasi perusahaan harus sedapat mungkin menghindarkan diri dari kegiatan mencemari lingkungan (pollution) atau pengurasan sumber daya alam. Perusahaan secara terus menerus mengembangkan metode alternatif, baik dalam menangani kotoran, limbah berbahaya, maupun sampah biasa.
• Kesejahteraan Sosial Umum
Semua organisasi pada hakikatnya merupakan sistem terbuka yang bergantung pada lingkungannya. Karena ketergantungan itu, maka setiap organisasi perlu memperhatikan pandangan dan harapan masyarakat. Semua organisasi harus tanggap terhadap kebutuhan masyarakat. Ini berlaku pula untuk perusahaan. Tanggung jawab sosial telah menjadi isu yang kian penting karena masyarakat semakin besar asanya terhadap organisasi/perusahaan. Beberapa orang percaya bahwa untuk memperlakukan stakeholder dan lingkungan dengan penuh tanggung jawab, organisasi bisnis juga harus mendorong kesejahteraan umum masyarakat. Kemiskinan global dan pengakuan terhadap HAM adalah kegiatan yang sekarang sering diusung oleh perusahaan, terutama yang besar-besar terkait dengan tanggung jawab sosial terhadap kesejahteraan sosial umum.

3. Pembahasan
Dari paparan di atas, penulis berkesimpulan bahwa CSR adalah basis teori tentang perlunya sebuah perusahaan membangun hubungan harmonis dengan masyarakat lokal. Secara teoretik, CSR dapat didefinisikan sebagai tanggung jawab moral suatu perusahaan terhadap para strategic-stakeholdersnya, terutama komunitas atau masyarakat disekitar wilayah kerja dan operasinya. CSR memandang perusahaan sebagai agen moral. Dengan atau tanpa aturan hukum, sebuah perusahaan harus menjunjung tinggi moralitas. Parameter keberhasilan suatu perusahaan dalam pandangan CSR adalah pengedepanan prinsip moral dan etis, yakni menggapai suatu hasil terbaik, dengan paling sedikit merugikan kelompok masyarakat lainnya. Salah satu prinsip moral yang sering digunakan adalah golden-rules, yang mengajarkan agar seseorang atau suatu pihak memperlakukan orang lain sama seperti apa yang mereka ingin diperlakukan. Dengan begitu, perusahaan yang bekerja dengan mengedepankan prinsip moral dan etis akan memberikan manfaat terbesar bagi masyarakat.
Dalam CSR perusahaan tidak diharapkan pada tanggung jawab yang hanya berpijak pada single bottom line, yaitu nilai perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya saja. Tanggung jawab perusahaan harus berpijak pada triple bottom line, selain aspek finansial juga sosial dan lingkungan. Kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh secara berkelanjutan (sustainable), tetapi juga harus memperhatikan dimensi sosial dan lingkungan hidup.
Contoh kasusnya adalah Lapindo Brantas. Ada semacam pengabaian kewajiban yang dilakukan perusahaan setelah terjadinya kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo. Kasus lumpur tersebut merupakan dampak dari terabaikannya faktor lingkungan oleh perusahaan. Perusahaan cenderung lebih eksploitatif, tanpa memperhatikan sustainability. Jika digambarkan dalam triple bottom line, perusahaan hanya mempertimbangkan corporate value dengan peningkatan laba, dengan mengabaikan aspek sosial dan lingkungan. Hasil akhirnya adalah hancurnya perusahaan dengan terperosoknya saham-saham Bakrie Brothers yang merupakan induk perusahaan Lapindo Brantas, di pasar modal.
Prinsip keberlanjutan mengedepankan pertumbuhan, khususnya bagi masyarakat miskin dalam mengelola lingkungannya dan kemampuan institusinya dalam mengelola pembangunan, serta strateginya adalah kemampuan untuk mengintegrasikan dimensi ekonomi, ekologi, dan sosial yang menghargai kemajemukan ekologi dan sosial budaya. Kemudian dalam proses pengembangannya tiga stakeholder inti diharapkan mendukung penuh, di antaranya adalah; perusahaan, pemerintah dan masyarakat.
Dalam implementasi program-program CSR, diharapkan ketiga elemen di atas saling berinteraksi dan mendukung, karenanya dibutuhkan partisipasi aktif masing-masing stakeholder agar dapat bersinergi, untuk mewujudkan dialog secara komprehensif. Karena dengan partisipasi aktif para stakeholder diharapkan pengambilan keputusan, menjalankan keputusan, dan pertanggungjawaban dari implementasi CSR akan di emban secara bersama.
Kesadaran tentang pentingnya mempraktekkan CSR ini menjadi tren global seiring dengan semakin maraknya kepedulian masyarakat global terhadap produk-produk yang ramah lingkungan dan diproduksi dengan memperhatikan kaidah-kaidah sosial dan prinsip-prinsip HAM.
Sebagai contoh kegiatan yang dilakukan PT Telkom yang dikemas dalam bentuk tanggung jawab sosial perusahaan berjalan cukup lancar. Dana kemitraan yang disalurkan secara bergulir kepada pengusaha kecil, menengah dan koperasi hingga Juni 2007 sudah mencapai 423,5 Milyar Rupiah, tidak kurang dari 6.031 mitra binaan mendapat pelatihan atau kucuran dana dari PT Telkom. Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL) juga melakukan kegiatan dengan berbagai fokus utama di bidang pendidikan, selain melakukan pengadaan infrastruktur internet di 83.000 sekolah dalam program internet go to school, serta menangani yayasan pendidikan, dilakukan pula pelatihan teknologi dan komunikasi untuk 500 guru selama 2006.
Dari CSR, perusahaan memang tidak akan mendapatkan profit atau keuntungan. Yang diharapkan dari kegiatan ini adalah benefit berupa citra perusahaan. Seperti ditunjukkan PT Kaltim Prima Coal (KPC), perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan batu bara di Kabupaten KutaiTimur, Kalimantan Timur, menyisihkan 5 Jut Dolar AS per tahun untuk melakukan berbagai kegiatan terutama membina masyarakat sekitar hutan yang dalam prakteknya menggandeng pengelola Taman Nasional Kutai, dengan memberikan pelatihan pertanian organik dan pengembangan agrowisata, serta pembibitan tanaman-tanaman lokal.
Contoh lain, adalah Unilever dengan program CSR “relawan get relawan”. Berawal dari dua warga, unilever berhasil mengumpulkan 4.300 relawan untuk menularkan kebiasaan menjaga kebersihan lingkungan dan kesehatan. Tahun 2008, program ini akan mencapai 30 ribu orang. Meski berada di gang sempit di kawasan perumahan padat Mampang, Jakarta Selatan, terlihat bersih dan asri. Mereka menutup selokan dengan bilah-bilah bambu, dan menata pot-pot berisi tanaman hias serta tanaman obat diatasnya. Daerah ini dijadikan sebagai wilayah percontohan oleh Unilever untuk menjalankan program Jakarta Green and Clean. Unilever menurunkan koordinator lapangan yang bertugas memberikan motivasi kepada masyarakat untuk membiasakan hidup dilingkungan yang bersih. Mereka kemudian mencari para kader dari kelompok masyarakat yang aktif di wilayahnya untuk menularkan program ini.
Coba kita lihat kasus lain, Johnson & Johnson (J&J) menangani kasus keracunan Tylenol tahun 1982. Pada kasus itu, tujuh orang dinyatakan mati secara misterius setelah mengonsumsi Tylenol di Chicago. Setelah diselidiki, ternyata Tylenol itu mengandung racun sianida. Meski penyelidikan masih dilakukan guna mengetahui pihak yang bertanggung jawab, J&J segera menarik 31 juta botol Tylenol di pasaran dan mengumumkan agar konsumen berhenti mengonsumsi produk itu hingga pengumuman lebih lanjut. J&J bekerja sama dengan polisi, FBI, dan FDA (BPOMnya Amerika Serikat) menyelidiki kasus itu. Hasilnya membuktikan, keracunan itu disebabkan oleh pihak lain yang memasukkan sianida ke botol-botol Tylenol. Biaya yang dikeluarkan J&J dalam kasus itu lebih dari 100 juta dollar AS. Namun, karena kesigapan dan tanggung jawab yang mereka tunjukkan, perusahaan itu berhasil membangun reputasi bagus yang masih dipercaya hingga kini. Begitu kasus itu diselesaikan, Tylenol dilempar kembali ke pasaran dengan penutup lebih aman dan produk itu segera kembali menjadi pemimpin pasar (market leader) di Amerika Serikat.
Dengan semakin banyaknya perusahaan melakukan praktek CSR dapat berdampak positif bagi lingkungan bisnis. Hal inipun menunjukkan adanya peningkatan kesadaran bahwa jika perusahaan ingin tumbuh secara berkelanjutan maka perusahaan tidak semata-mata mengejar keuntungan tetapi juga harus menjaga aspek sosial dan lingkungan.
CSR tidak memberikan hasil secara keuangan dalam jangka pndek. Namun CSR akan memberikan hasil baik langsung maupun tidak langsung pada keuangan perusahaan di masa mendatang. Investor juga ingin investasinya dan kepercayaan masyarakat terhadap perusahaannya memiliki citra yang baik di mata masyarakat umum. Dengan demikian, apabila perusahaan melakukan program-program CSR diharapkan keberlanjutan, sehingga perusahaan akan berjalan dengan baik. Oleh karena itu, program CSR lebih tepat apabila digolongkan sebagai investasi dan harus menjadi strategi bisnis dari suatu perusahaan.

4. Kesimpulan
CSR dapat diartikan sebagai komitmen perusahaan untuk mempertanggung-jawabkan dampak operasinya dalam dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan, serta terus-menerus menjaga agar dampak tersebut menyumbang manfaat kepada masyarakat dan lingkungan hidupnya.
Melaksanakan CSR secara konsisten dalam jangka panjang akan menumbuhkan rasa keberterimaan masyarakat terhadap kehadiran perusahaan. Kondisi seperti itulah yang pada gilirannya dapat memberikan keuntungan ekonomi-bisnis kepada perusahaan yang bersangkutan. Dengan pemahaman seperti itu, dapat dikatakan bahwa, CSR adalah prasyarat perusahaan untuk bisa meraih legitimasi sosiologiskultural yang kuat dari masyarakatnya.
Penerapan CSR di perusahaan akan menciptakan iklim saling percaya di dalamnya, yang akan menaikkan motivasi dan komitmen karyawan. Pihak konsumen, investor, pemasok, dan stakeholders yang lain juga telah terbukti lebih mendukung perusahaan yang dinilai bertanggung jawab sosial, sehingga meningkatkan peluang pasar dan keunggulan kompetitifnya. Dengan segala kelebihan itu, perusahaan yang menerapkan CSR akan menunjukkan kinerja yang lebih baik serta keuntungan dan pertumbuhan yang meningkat.
Setidaknya ada tiga alasan penting mengapa kalangan dunia usaha harus merespon dan mengembangkan isu tanggung jawab sosial sejalan dengan operasi usahanya. Pertama, perusahaan adalah bagian dari masyarakat dan oleh karenanya wajar bila perusahaan memperhatikan kepentingan masyarakat. Kedua, kalangan bisnis dan masyarakat sebaiknya memiliki hubungan yang bersifat simbiosis mutualisme. Ketiga, kegiatan tanggung jawab sosial merupakan salah satu cara untuk meredam atau bahkan menghindari konflik sosial.
























DAFTAR PUSTAKA


Muhammad Arief Effendi, “Implementasi GCG Melalui CSR”, 7 November 2007, diakses dari muhariefeffendi.wordpress.com
Mas Achmad Daniri, “Menuju Standarisasi CSR”, (Ketua Mirror Committee on Social Responsibility Indonesia) dan Maria Dian Nurani (Anggota Mirror Committee on Social Responsibility Indonesia), Harian Bisnis Indonesia, 19 Juli 2007
Mas Achmad Daniri, Good Corporate Governance, Konsep dan Penerapannya Dalam Konteks Indonesia, PT Ray Indonesia, Jakarta, Agustus 2005.
Suhandari M. Putri, Schema CSR, Kompas, 4 Agustus 2007
Dyah Pitaloka, Memperkuat CSR Memberantas Kemiskinan, Suara Merdeka, 2 agustus 2007
Majalah SWA Sembada. No.26. XXI, Edisi 19 Desember 2005-11 Januari 2006.
Ricky W. Griffin & Michael W. Pustay. International Business. New Jersey: Upper Sadle River, 2005.
Yusuf Wibisono, Membedah Konsep dan Aplikasi CSR, Fascho Publishing, Gresik, April 2007.
Bambang Rudito dan Melia Famiola, Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia, Penerbit Rekayasa Sains, Bandung, Februari 2007.
Alois A. Nugroho. Dari Etika Bisnis ke Etika Ekobisnis. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2001.
Yakin Addinul. Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan, Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta: Akademika Presindo, 1997.
Hendrik Budi Untung. Corporate Social Responsibility, Jakarta: Sinar Grafika, 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar