Kamis, 05 Agustus 2010

PRODUK HALAL, APA DAN BAGAIMANA URGENSINYA BAGI UMAT ISLAM

Baru-baru ini Majlis Ulama Indinesia (MUI) menggelar Pameran Produk Halal di Balai Sidang Senayan (JCC) Jakarta, yang berlangsung 23-25 Juli 2010. Dalam pameran tersebut MUI menunjukkan produk-produk dengan sertifikasi halal layak dikonsumsi, yaitu produk yang telah memenuhi persyaratan yang terbebas dari bahan yang dilarang (sumber : Liputan6.com).

Penduduk muslim Indonesia merupakan pangsa pasar yang besar bagi perusahaan, baik dari dalam maupun dari luar negeri. Terkadang perusahaan hanya berorientasi pada peningkatan laba, dengan melupakan norma-norma yang seharusnya dipatuhi, termasuk didalamnya mengabaikan apakah produk yang dibuat halal atau tidak.

Dalam memproduksi makanan, minuman, obat, dan kosmetika modern, perusahaan banyak mengunakan bahan-bahan tambahan seperti shortening, enzim, dan gelatin yang terbuat dari bahan hewani yang status kehalalannya meragukan. Shortening adalah pencampur makanan yang terbuat dari lemak hewan (ada juga yang berasal dari lemak tumbuhan), berfungsi untuk membuat campuran bahan makanan menjadi lebih padu, lebih mengembang, lebih enak, renyah, dan tahan lama. Shortening banyak digunakan dalam pembuatan kosmetik seperti minyak rambut, tapal gigi, cream, dll., serta dalam pembuatan makanan seperti biskuit, kue, roti, dll. Enzim dibuat dari cairan lambung hewan, berfungsi untuk mempercepat proses pembuatan produk dari bahan dasar seperti pembuatan keju, pembuatan bahan bumbu masak, dll. Gelatin dibuat dari tulang rawan hewan, digunakan untuk pembuat emulsi (emulsifer), sehingga homogenitas suatu produk menjadi lebih stabil. Gelatin digunakan dalam pembuatan eskrim, sari buah, sirop, teh botol, kapsul obat, obat syrup, salep, dll. Shortening, enzim, gelatin dapat saja dibuat dari bahan yang diharamkan seperti babi (Sumber : Majalah Percikan Iman).

Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah umat Islam waspada, bahwa apa yang dikonsumsinya telah benar-benar terkategori sebagai produk halal yang diharuskan syari’at? Atau sebaliknya, ternyata kita acuh tak acuh dengan persoalan ini? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini perlu mendapat perhatian serius, agar hidup yang kita jalani selalu dalam garis (on the track) yang ditetapkan Allah SWT.

Tinjauan Fiqh
Kata ‘halalan’ berasal dari lafadz ‘halla’ yang artinya ‘lepas’ atau ‘tidak terikat’. Yusuf Qardhawi (2000) mendefinisikan istilah halal sebagai segala sesuatu yang boleh dikerjakan, syariat membenarkan dan orang yang melakukannya tidak dikenai sanksi dari Allah Swt. Haram berarti segala sesuatu atau perkara-perkara yang dilarang oleh syara’ (hukum Islam), jika perkara tersebut dilakukan akan menimbulkan dosa dan jika ditinggalkan akan berpahala.

Selanjutnya, masih menurut Qardhawi, Haram dibagi ke dalam dua kategori, yaitu haram lidz-dzati atau haram karena zatnya seperti : darah, bangkai, dan babi dan Haram li-gharihi atau haram karena cara memperoleh dan cara memprosesnya, seperti : disembelih bukan untuk kepentingan ibadah/Allah, hewan yang mati karena tercekik, ditanduk, jatuh, dipukul, diterkam binatang buas.

Pertama, makanan itu jelas-jelas halal. Artinya boleh dimakan karena zatnya memang halal, dan secara hukum makanan itu halal dimakan. Sesuai dengan firman Allah yang artinya: “Hai Manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagimu” (Q.S. Al-Baqarah/2: 168).

Kedua, usaha yang halal. Artinya untuk mendapatkannya dilakukan dengan cara-cara yang halal. Makanan jadi tidak halal karena cara memperolehnya tidak dibenarkan syar'i, misalnya mengambil makanan orang lain, atau makanan itu dibeli dengan uang yang diperoleh dari mencuri, menipu, dan korupsi. Uang yang berasal dari usaha haram, jika dibelikan makanan akan menjadikan makanan itu haram. Hal ini sesuai dengan firman Allah yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah jika hanya kepada Allah kamu menyembah” (Q.S. Al-Baqarah/2: 172).

Di dalam Islam makanan dinyatakan haram karena zatnya dan haram karena hukumnya. Haram karena zatnya, yaitu makanan yang menjijikkan (kotor/najis) dan makanan yang berasal dari babi, bangkai, darah yang mengalir, binatang bertaring, binatang berkuku tajam. (Q.S. Al-Baqarah/2: 172-173, Q.S. Al-Araf/7: 157).

Haram karena hukumnya, antara lain disebabkan disembelih tanpa membaca basmalah atau makanan itu berupa sesaji. Untuk makanan sesaji atau yang dihidangkan pada ritual-ritual tertentu, jelas haram karena hal itu merupakan kesyirikan. Islam mengatur hewan yang akan dimakan hendaknya dipotong saluran pernafasannya dengan membaca basmalah. Jika tidak dilakukan proses ini maka hewan yang halalpun menjadi haram. Menurut Q.S. Al-Maidah ayat 3 proses kematian hewan yang menyebabkan hewan itu menjadi haram dimakan antara lain karena dicekik, dipukul, ditanduk binatang lain atau akibat kematian lain yang tidak sesuai dengan hukum. Terkecuali hewan laut atau yang hidup di air seperti ikan bangkainya tetap halal dimakan. Rusaknya Kehalalan Salah satu prinsip dalam Islam, apabila Allah swt. telah mengharamkan sesuatu, maka semua masakan atau produk yang dibuat dari bahan dasar yang diharamkan akan menjadi makanan yang haram pula.

Urgensi Mengkonsumsi Makanan Halal
Zat gizi dari makanan berfungsi sebagai zat yang kita butuhkan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan kehidupan sekaligus sebagai pembentuk struktur sel dan organ tubuh. Dengan zat gizi pula tubuh dapat membentuk sel-sel keturunan (sperma dan ovum), menumbuhkembangkan hasil pembuahan menjadi janin, kemudian menjadi bayi, dan selanjutnya zat gizi digunakan untuk menumbuhkembangkan bayi menjadi anak, lalu menjadi remaja dan kemudian menjadi dewasa. Karena fungsi tersebut, adalah logis bila Allah SWT. memerintahkan kita mengkonsumsi makanan yang halal dan baik

Ibnu Abbas r.a. berkata, “Tatkala aku membaca ayat di hadapan Rasulullah, yang artinya, ‘Wahai manusia makanlah apa-apa yang ada di bumi yang halal dan baik.’ Tiba-tiba berdirilah Sa’ad bin Abi Waqqas kemudian berkata,’Ya Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar menjadikan doaku mustajab.’ Rasulullah SAW. menjawab, ‘Perbaikailah makananmu, niscaya doamu mustajab. Demi yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, seseorang yang memasukkan sesuatu yang haram ke dalam perutnya, maka tidak diterima dari amal-amalnya 40 hari. Dan seorang hamba yang dagingnya tumbuh dari yang haram dan riba maka neraka lebih layak baginya’.”

Dalam dua hadits yang disajikan ini, Rasullullah telah memberikan konsekuensi bagi pengkonsumsi makanan yang tidak halal, yaitu: tidak diterima ibadahnya serta akan merasakan panasnya api neraka.
Dari uraian singkat di atas, jelaslah bahwa terjaminnya kehalalan makanan yang kita konsumsi teramat penting artinya bagi diterimanya amal ibadah kita oleh Allah SWT. Oleh karena itu, wajar jika permasalahan makanan/produk halal ini mendapat perhatian serius.

Peran Pemerintah
Dengan kemajuan teknologi, banyak dari bahan-bahan haram yang dimanfaatkan sebagai bahan baku, bahan tambahan atau bahan penolong pada berbagai produk olahan. Akhirnya yang halal dan yang haram menjadi tidak jelas, bercampur aduk dan banyak yang syubhat (samar-samar, tidak jelas hukumnya). Menghadapi kasus semacam ini maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya makanan olahan yang telah tersentuh teknologi dan telah diolah sedemikian rupa statusnya menjadi samar (syubhat), sehingga dapat dibuktikan statusnya sebagai halal atau haram. Pada titik ini, sudah seharusnya pemerintah mengambil peran.

Di Indonesia, sertifikasi makanan halal berada di bawah tanggung jawab Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia berdasarkan kajian dan audit (pemeriksaan) yang dilakukan oleh LPPOM MUI.

LPPOM MUI memberikan label halal pada makanan/ minuman yang sudah lolos uji. Karena itu jika akan membeli suatu produk makanan/minuman, lihatlah pada kemasannya. Jika terdapat label halal, insya Allah memang benar-benar sudah lolos uji kehalalan. Sebaliknya jika tidak ada label halal, produk itu kemungkinan bahannya terbuat dari bahan haram atau bisa jadi dapat membahayakan kesehatan. Sebagai contoh sederhana, perhatikan perbedaan kemasan beberapa produk biskuit yang beredar di pasaran. Karena itu cermatilah jika akan membeli produk makanan/minuman.

Apa Yang Harus Kita Lakukan
Sebagai seorang muslim, sudah selayaknyalah kita berjalan pada track yang digariskan Allah SWT. Makanan yang halal jelas diperbolehkan untuk dikonsumsi, yang haram jelas dilarang keras untuk dikonsumsi (kecuali pada kondisikondisi darurat), sedangkan syubhat merupakan kondisi yang berada diantara keduanya, dimana terdapat dalil yang tidak jelas mengenai halal-haramnya suatu makanan atau karena adanya perbedaan pendapat diantara para ahli fiqih dalam menetapkan suatu makanan. Dalam menyikapi hal-hal yang syubhat, Islam menekankan untuk mengambil sikap hati-hati (wara’) dan menjauhi makanan syubhat supaya tidak terjerumus kepada hal-hal yang haram.

Selain makanan halal, umat islam juga diwajibkan mengkonsumsi makanan yang baik (Thoyib), seperti belum daluarsa, tidak mengandung pewarna pakaian, dsb. Dalam Islam, mengkonsumsi produk halal dan baik menjadi sebuah hal yang mutlaq dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Saat ini kita sering mendengar seloroh orang-orang yang mengatakan: “Yang haram saja susah, apalagi yang halal.” Na'udzubillahimindzalik. Allah swt. memerintahkan kita untuk mencari rezeki dari yang halal dan baik serta sesuai dengan batas-batas syariat. sebagaimana Allah wahyukan dalam Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 88: “dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya”.

Dari sini jelaslah bagaimana diperintahkan kepada kita kaum muslimin agar mencari rezeki yang halal. Dengan rezeki yang halal itu, kalau kemudian kita belanjakan untuk makanan, maka makanan yang akan kita dan keluarga kita makan akan menjadi halal. Semoga kita termasuk orang-orang yang berhati-hati dalam memakan apa yang kita makan. Sehingga jiwa dan jasmani kita dengan keluarga kita menjadi bersih dan dijauhkan dari dosa-dosa dan hidup kita selalu mendapatkan ridha Allah swt.

Wallahu’alam bishshawab……..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar