Jumat, 06 Agustus 2010

Zakat, bisakah dijadikan sebagai instrumen kebijakan fiskal?

1. Latar Belakang
Sudah lebih dari sepuluh tahun yang lalu, tepatnya sejak Juli 1997 bangsa Indonesia dilanda krisis moneter, yang kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi bahkan berlanjut menjadi krisis kepercayaan.
Ketika krisis mulai melanda Indonesia pada pertengahan 1997 kondisi keuangan negara kita sebenarnya tidak terlalu buruk. Pada tahun 1996 APBN surplus sebesar 1,9% dari PDB, hutang Pemerintah dengan luar negeri adalah USD 55,3 milyar atau sekitar 24% dari PDB sedangkan hutang dalam negeri tidak ada. Realisasi APBN 1997 sampai dengan Semester I juga baik. Surplus anggaran setengah tahun itu mencapai 1,8% dari PDB dan hutang pemerintah tidak banyak berubah.
Krisis mengubah itu semua. Defisit anggaran serta merta membengkak dan hutang Pemerintah meningkat tajam. Pada tahun 1998, tahun yang paling kelabu dalam krisis, Indonesia mengalami kombinasi dua penyakit ekonomi yang paling fatal : sektor riil yang macet dan hiperinflasi. Tahun itu PDB kita anjlok dengan sekitar 13%, inflasi mencapai sekiktar 78% dengan harga makanan meningkat lebih dari dua kali lipat, kurs melonjak-lonjak tak menentu dan serta merta anggaran negara berubah dari surplus menjadi defisit 1,7% dari PDB.
APBN tumpul untuk menjadi motor atau minimal memberi stimulus terhadap pertumbuhan ekonomi. Rendahnya daya dorong kebijakan fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi juga terkait kinerja pemerintah yang masih menggantungkan pengadaan pembiayaan terhadap pinjaman, terutama pinjaman luar negeri.
Dalam kondisi seperti ini pemerintah dituntut kreatif dalam menemukan sumber-sumber pendanaan negara. Di dalam sistem fiskal pemerintahan Islam, salah satunya dikenal pendapatan negara bersumber dari zakat. Tulisan ini berusaha mengangkat permasalahan pengintegrasian zakat ke dalam kebijakan fiskal.

2. Kerangka pemikiran
2.1. Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal dapat diartikan sebagai tindakan yang diambil oleh pemerintah dalam bidang anggaran belanja negara, dengan maksud untuk memengaruhi jalannya perekonomian . Anggaran belanja negara terdiri dari penerimaan dan pengeluaran. Sumber penerimaan pemerintah terdiri dari :
1. Pajak
2. Retribusi
3. Keuntungan dari perusahaan-perusahaan negara seperti perusahaan minyak negara, BUMN, BUMD, dan sebagainya.
4. Denda-denda dan penyitaan yang dilakukan oleh negara.
5. Sumbangan masyarakat untuk jasa-jasa yang diberikan oleh pemerintah seperti pembayaran biaya-biaya perizinan.
6. Pencetakan uang kertas.
7. Hasil undian negara.
8. Pinjaman, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri.
9. Hadiah atau hibah.

Sedangkan sumber pengeluaran negara terdiri dari :
1. Pengeluaran konsumsi pemerintah yang bisa juga disebut government expenditure atau government purchase. Pengeluaran ini meliputi semua pengeluaran pemerintah di mana pemerintah secara langsung menerima balas jasanya, seperti pengeluaran pemerintah untuk membayar gaji para pegawai negeri dan pembelian barang-barang atau jasa-jasa dalam berbagai bentuknya.
2. Pengeluaran pemerintah berupa government transfer. Dalam hal ini pemerintah tidak menerima balas jasa langsung misalnya, sumbangan pemerintah yang diberikan kepada rakyat yang menderita akibat bencana alam, tunjangan bagi para penganggur, uang pensiun, subsidi kepada perusahaan-perusahaan, dan beasiswa.

Menurut Adiwarman , pengeluaran pemerintah menurut jenisnya dapat dibedakan menjadi :
1. Wasteful spending, yaitu suatu kondisi dimana belanja pemerintah memberikan manfaat yang lebih kecil dibanding dengan biaya yang telah dikeluarkan.
2. Productive spending, yaitu pengeluaran yang memberikan manfaat yang lebih besar disbanding dengan biaya yang telah dikeluarkan.
3. Transfer payment, yaitu apabila jumlah biaya yang dikeluarkan sebanding dengan manfaat yang diterima.
Sedangkan pengeluaran pemerintah menurut sifatnya meliputi :
1. Temporary spending, yaitu pengeluaran negara yang dilakukan hanya satu kali saja.
2. Permanent spending, yaitu pengeluaran yang dilakukan pemerintah secara terus menerus dalam periode tertentu.

Jadi, kebijakan fiskal merupakan semua intervensi pemerintah dalam memperbesar atau memperkecil jumlah pungutan pajak, memperbesar atau memperkecil government expenditure dan atau government transfer yang bertujuan untuk mempengaruhi perekonomian menuju keadaan yang diiginkan.
Menurut Nuruddin (2006) , tujuan kebijakan fiskal meliputi kestabilan ekonomi, mencegah timbulnya pengangguran. Untuk tujuan kestabilan ekonomi, peningkatan pendapatan nasional riil dengan ketersediaan faktor-faktor produksi dan teknologi dengan tetap mempertahankan kestabilan harga-harga umum. Sedangkan pencegahan timbulnya pengangguran berkaitan dengan kesempatan kerja penuh (full employment), yang diartikan sebagai keadaan dimana semua pemilik faktor produksi ingin mempekerjakannya pada tingkat upah yang berlaku. Tujuan lain dari kebijakan fiskal adalah mempertahankan kestabilan harga, artinya penurunan harga yang sangat tajam akan berakibat timbulnya pengangguran karena sektor swasta mendapat keuntungan yang semakin kecil, sehingga akan terus terjadi divestasi. Di sisi lain, kenaikan harga-harga akan memicu inflasi yang berdampak pada merosotnya tingkat konsumsi.
Lebih lanjut, Adiwarman mengatakan bahwa selayaknya anggaran pemerintah disesuaikan dengan kemampuan negara, seperti digambarkan di bawah ini :




Apabila pendapatan lebih besar dari penerimaan, kondisi ini disebut budget surplus, bila kondisi sebaliknya disebut budget deficit. Apabila terjadi budget deficit, jalan keluar yang diambil biasanya meningkatkan penerimaan negara dari pajak, pencetakan uang baru, atau penciptaan utang baik dari dalam maupun dari luar negeri. Dari ketiga solusi tersebut, masing-masing memiliki konsekuensi tersendiri.

2.2. Zakat
Menurut terminology Syari'ah zakat berarti kewajiban atas harta atau kewajiban atas sejumlah harta tertentu untuk kelompok tertentu dan dalam waktu tertentu. Kewajiban atas sejumlah harta tertentu, berarti zakat adalah kewajiban atas harta yang bersifat mengikat dan bukan anjuran. Kewajiban tersebut terkena kepada setiap muslim (baligh atau belum, berakal atau gila) ketika mereka memiliki sejumlah harta yang sudah memenuhi batas nisabnya. Kelompok tertentu adalah mustakihin yang terangkum dalam 8 asnhaf. Waktu untuk mengeluarkan zakat adalah ketika sudah berlalu setahun (haul) untuk zakat emas, perak, perdagangan dll, ketika panen untuk hasil tanaman, ketika memperolehnya untuk rikaz dan ketika bulan Ramadhan sampai sebelum shalat 'Iid untuk zakat fitrah.
Islam telah mengajarkan hal ini kepada umat muslim untuk melaksanakan amalan zakat. Islam memandang bahwa kewajiban zakat dibebankan kepada mereka yang kaya. Peran ganda zakat dalam meningkatkan keadilan distribusi pendapatan :
1. Zakat berfungsi untuk mengurangi tingkat pendapatan yang siap dikonsumsi oleh segmen orang kaya (Muzakki). Oleh karena itu, pengimplementasian zakat diharapkan akan mampu mengerem tingkat konsumsinya orang kaya sehingga kurva permintaan segmen kaya tidak meningkat terlalu tajam. Hal ini pada akhirnya akan memiliki dampak yang positif, yaitu menurunnya dampak meningkatkan harga-harga komoditas.
2. Zakat berfungsi sebagai media transfer pendapatan sehingga mampu meningkatkan daya beli orang miskin. Dalam hal ini diharapkan dengan menerima zakat, maka segmen miskin akan meningkat daya belinya sehingga mampu berinteraksi dengan segmen kaya.
Al-Qur’an telah menjelaskan penentuan alokasi zakat, siapa yang berhak menerimanya, tetapi tidak dijelaskan apakah yang zakat itu harus diterima dalam bentuk uang, barang-barang konsumsi atau modal kerja. Hal ini menimbulkan pemikiran para ekonom, sehingga melahirkan ide agar zakat memberikan dampak yang lebih baik bagi para penerima. Sehingga zakat yang diberikan dapat lebih mengarah pada zakat produktif. Di bawah ini dapat dilihat analisis pembayaran zakat :














Gambar 1. Zakat Produktif dan Zakat Konsumtif
Sumber : Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (2008)

Dijelaskan bahwa pembayaran zakat pada tahap pertama akan menurunkan permintaan orang kaya dari DH1 menuju DH2. Turunnya permintaan ini akan diterima oleh orang miskin sehingga akan berpengaruh terhadap pasar segmen miskin. Jika zakat diterima dalam bentuk barang konsumsi, maka permintaan orang miskin akan meningkat dari DS1 menuju DS2 sehingga akan mendorong harga di segmen miskin akan meningkat. Namun, jika zakat diterima dalam bentuk modal kerja (zakat produktif), maka penawaran segmen miskin akan meningkat lebih kecil, namun diikuti oleh harga yang menurun. Dari gambaran ini dapat diperoleh gambaran bahwa baik zakat konsumtif maupun zakat produktif akan meningkatkan pertumbuhan perekonomian selama penurunan permintaan segmen kaya (XH1 – XH2) akan diimbangi oleh pengingkatan volume perdagangan segmen miskin (XS3 – XS0) yang lebih besar. Hal ini dipengaruhi oleh :
1. Kepekaan konsumen miskin terhadap harga barang. Semakin konsumen peka atau elastic terhadap harga, maka zakat produktif akan memiliki dampak inflasioner lebih rendah dan peningkatan output lebih tinggi daripada zakat konsumtif.
2. Hubungan antara harga dan penjualan segmen miskin. Semakin elastis penawaran segmen miskin, maka semakin tinggi efek zakat konsumtif terhadap peningkatan output daripada zakat produktif.
3. Hasrat untuk konsumsi segmen miskin. Hasrat ini menunjukkan seberapa besar bagian pendapatan yang akan dikonsumsi dan bisa dicerminkan dari nilai elastisitas permintaan terhadap pendapatan. Semakin elastis permintaan terhadap pendapatan berarti tambahan pendapatan segmen miskin akan dihabiskan untuk konsumsi, dan hal ini semakin meningkatkan besarnya efek zakat konsumtif.

3. Pembahasan
3.1. Zakat dan Ekonomi Makro
Berdasarkan kemampuan membayar zakat, masyarakat muslim dapat kita kelompokkan menjadi tiga golongan ; pertama, golongan masyarakat Muzakki yaitu golongan masyarakat pembayar zakat. Kedua, golongan masyarakat non- Mustahik/Muzakki yaitu golongan yang bukan penerima ataupun pembayar zakat
(golongan middle income). Ketiga, golongan masyarakat Mustahik yaitu golongan
masyarakat penerima zakat.
Pada model konsumsi golongan Mustahik konsumsi sepenuhnya atau sebagian bersumber dari zakat. Disinilah fungsi pertama dari negara Islami untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan hidup minimal (guarantee of a minimum level of living). Institusi negara yang bernama Baitul Mal-lah dalam konsep ekonomi Islam yang memiliki tugas menjalankan fungsi negara tersebut dengan mengambil kekayaan dari kelompok Muzakki untuk dibagikan kepada kelompok Mustahiq. Dengan tepenuhinya kebutuhan hidup minimal maka seluruh masyarakat Islam diharapkan akan menjalankan secara leluasa segala kewajibannya sebagai hamba Allah SWT, tanpa perlu ada hambatan-hambatan yang mungkin memang diluar kemampuannya.
Zakat memungkinkan perekonomian terus berjalan pada tingkat yang minimum. Akibat penjaminan konsumsi kebutuhan dasar oleh negara melalui Baitul Mal yang menggunakan akumulasi dana zakat . Bahkan Dr. Metwally mengungkapkan bahwa Zakat berpengaruh cukup positif pada perekonomian, karena instrumen zakat akan mendorong konsumsi dan investasi serta akan menekan penimbunan uang (harta). Karena harta yang tidak di investasikan akan habis termakan zakat. Sehingga zakat memiliki andil dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara makro.
Dalam analisa makro ekonomi, kegiatan belanja (konsumsi) merupakan variabel yang sangat positif bagi kinerja perekonomian (economic growth). Ketika perekonomian mengalami stagnasi, seperti terjadi penurunan tingkat konsumsi atau bahkan sampai pada situasi under-consumption, kebijakan utama yang diambil adalah bagaimana dapat menggerakkan ekonomi dengan meningkatkan daya beli masyarakat. Sehingga dapat dikatakan bahwa kemampuan daya beli masyarakat menjadi sasaran utama dari setiap kebijakan ekonomi .
Dr. Monzer Kahf , mengungkapkan bahwa zakat memiliki pengaruh yang positif pada tingkat tabungan dan investasi. Peningkatan tingkat tabungan akibat peningkatan pendapatan akan menyebabkan tingkat investasi juga meningkat. Karena ada preseden bahwa zakat juga dikenakan pada tabungan yang mencapai batas minimal terkena zakat (nisab). Dengan tujuan mempertahankan nilai kekayaannya maka tentu investasi menjadi salah satu jalan keluar bagi para Muzakki, sehingga secara otomatis meningkatkan angka investasi secara keseluruhan. Dan investasi adalah bagian penting dalam pembangunan perekonomian sebuah bangsa. Disamping itu Monzer Kahf juga mengungkapkan bahwa zakat cenderung menurunkan resiko pembiayaan/kredit macet (non-performing financing/NPF), karena salah satu alokasi dana zakat adalah menolong orang-orang yang terjebak hutang. Sehingga secara riil, zakat akan menekan tingkat pengangguran.
Selain itu implementasi konsep dan sistem zakat juga akan dapat mengurangi pengangguran dalam perekonomian melalui tiga mekanisme . Pertama, implementasi zakat itu sendiri membutuhkan tenaga kerja. Kedua, perubahan golongan mustahik yang awalnya tidak memiliki akses pada ekonomi menjadi golongan yang lebih baik secara ekonomi, yang tentu saja meningkatkan angka partisipasi tenaga kerja. Ketiga, multiflier effect munculnya usaha/industri pendukung yang akan menambah lapangan kerja.
Umer chapra meyatakan bahwa zakat adalah sebuah langkah kemandirian sosial yang diambil dengan dukungan penuh agama untuk membantu orang-orang miskin yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka sendiri. Selain itu, zakat juga harus memberikan pengaruh yang bermanfaat bagi negara, misalnya sebagai sumber investasi. Redistribusi zakat dari semua kekayaan akan mendorong pembayar zakat untuk mencari pendapatan dari harta mereka agar dapat membayar zakat tanpa mengurangi harta tersebut. Dalam Islam, penimbunan harta dilarang, sehingga meningkatkan investasi yang berarti menyumbangkan kemakmuran.

3.2. Membangun Sistem Zakat
Pengembangan potensi zakat diperlukan untuk mengoptimalkan peran zakat dalam perekonomian sebuah negara, terutama untuk mengatasi masalah kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan pengangguran. Penghimpunan potensi zakat dan pendistribusian yang bersifat produktif akan menggairahkan kembali perekonomian negara. Bahkan untuk Indonesia, optimalisasi peran zakat akan bisa menggerakkan sektor riil terutama usaha kecil menengah dan pertanian. Pengembangan sektor inilah yang diharapkan mampu menguatkan daya tahan fundamental ekonomi Indonesia dari hantaman krisis, sehingga ketergantungan Indonesia terhadap IMF bisa diminimalisasi (Dr. Didin Hafidhuddin, Peran Zakat Dalam Pembangunan Ekonomi, Jakarta, 2000).
Faktor penting yang juga menjadi pendukung utama dalam mewujudkan zakat sebagai pilar perekonomian adalah wujudnya pelembagaan zakat yang amanah, professional, dan mandiri. Sebab, penanganan keseluruhan terhadap zakat tidak mungkin dilakukan tanpa sebuah lembaga yang jelas.
Perkembangan pengelolaan zakat khususnya di Indonesia telah memperlihatkan sebuah kemajuan yang berarti, sejak dikeluarkannya UU No. 38 Tahun 1999 tentang zakat. Peraturan pemerintah terhadap lembaga pengelolaan zakat juga telah menimbulkan gairah baru dalam menjalankan optimalisasi zakat. Dompet Duafa Republika dan PKPU adalah dua lembaga yang sangat aktif yang dikelola oleh masyarakat. Dua lembaga itu merupakan wujud dari mulai diperhatikannya pengelolaan zakat secara serius oleh masyarakat, dampak dari 'jalan ditempatnya' Baziz yang dikelola pemerintah.
Dikeluarkanya UU. No. 38 tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah terhadap pengelolaan zakat merupakan angin segar terhadap pengembangan potensi zakat di masa datang. Respon terhadap kebijakan ini haruslah disikapi dengan kesiapan secara menyeluruh terhadap sistim zakat. Kesiapan institusi zakat, professional terhadap pengelolaan dan akuntabilitas dalam pelaporan, serta dasar syariah sebagai wujud pengelolaan adalah hal-hal penting yang harus diperhatikan.
Selain sistim pemungutan dan distribusi yang sudah ada perlu dipikirkan juga mengenai sanksi dan fungsi kontrol seperti zaman Abu Bakar. Fungsi kontrol dari masyarakat dan pemerintah diperlukan, karena pengelolaan zakat termasuk ke dalam public finance, yang memiliki dampak terhadap masyarakat luas. Kolektifitas kesadaran dalam menjalankan fungsi kontrol akan membuat potensi zakat semakin berkembang.
Ada beberapa hal mengapa zakat selama ini kurang maksimal :
1) Paradigma masyarakat dalam memandang kewajiban zakat hanya berdimensi kesalehan pribadi. Hal ini tercermin dari penunaian kewajiban zakat hanya pada zakat firah, sehingga kewajiban zakat maal yang seharusnya sudah sampai batas (nisab), tidak ditunaikan.
2) Persoalan fiqih yang selama ini menjadi perdebatan tidak pernah selesai, mulai dari perhitungan, penentuan, hingga alokasi pendistribusian zakat.
3) Kebijakan pemerintah yang selama ini kurang berpihak pada umat Islam adalah salah satu faktor pemicu tidak adanya political will dari pemerintah untuk mendukung pengembangan potensi zakat.
4) Sistim dan mekanisme, baik pengeloaan ataupun pada saat pendistribusian, tidak berjalan. Sehingga, potensi zakat hanya dimanfaatkan untuk kebutuhan konsumtif semata. Dengan demikian profesionalitas dan akuntabilitas pengelola zakat menjadi kurang terukur.

3.3. Zakat Sebagai Sumber Penerimaan Negara
Salah satu fungsi kebijakan fiskal yaitu meningkatkan sumber pendapatan negara. Apabila defisit anggaran ditutupi dengan hutang, maka beban anggaran negara akan semakin tinggi. Dengan kondisi seperti ini, pemerintah dituntut kreatif untuk mencari alternatif sumber-sumber pendapatan negara, salah satunya dengan mengintegrasikan zakat ke dalam kebijakan fiskal.
Ada beberapa alasan mengapa zakat perlu diintegrasikan ke dalam kebijakan fiskal. Zakat bukanlah bentuk charity biasa atau bentuk kedermawanan sebagaimana infak, wakaf, dan hibah. Zakat hukumnya wajib (imperatif) sementara charity atau donasi hukumnya mandub (sunnah). Satu-satunya lembaga yang mempunyai otoritas untuk melakukan pemaksaan seperti itu dalam sistem demokrasi adalah negara lewat perangkat pemerintahan, seperti halnya pengumpulan pajak. Apabila hal ini disepakati, maka zakat akan menjadi salah satu sumber penerimaan negara.
Potensi zakat yang dapat dikumpulkan dari masyarakat sangat besar. Menurut sebuah sumber, potensi zakat di Indonesia mencapai hampir 20 triliun per tahun. Hasil penelitian Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah dan Ford Foundation tahun 2005 mengungkapkan, jumlah potensi filantropi (kedermawanan) umat Islam Indonesia mencapai Rp 19,3 triliun. Di antara potensi tersebut, Rp 5,1 triliun berbentuk barang dan Rp 14,2 triliun berbentuk uang. Jumlah dana sebesar itu, sepertiganya masih berasal dari zakat fitrah (Rp 6,2 triliun) dan sisanya zakat harta Rp 13,1 triliun. Salah satu temuan menarik dari hasil penelitian tersebut adalah bahwa 61 persen zakat fitrah dan 93 persen zakat maal diberikan langsung kepada penerima. Penerima zakat fitrah dan zakat maal terbesar (70 persen) adalah masjid-masjid. Badan Amil Zakat (BAZ) pemerintah hanya mendapatkan 5 persen zakat fitrah dan 3 persen zakat maal, serta Lembaga Amil Zakat (LAZ) swasta hanya 4 persen zakat maal. Pada kenyataannya, dana zakat yang berhasil dihimpun dari masyarakat masih jauh dari potensi yang sebenarnya. Sebagai perbandingan, dana zakat yang berhasil dikumpulkan oleh lembaga-lembaga pengumpul zakat baru mencapai beberapa puluh milyar. Itu pun bercampur dengan infak, hibah, dan wakaf. Potensi yang sangat besar itu akan dapat dicapai dan disalurkan kalau pelaksanaannya dilakukan oleh negara melalui departemen teknis pelaksana.
Zakat mempunyai potensi untuk turut membantu pencapaian sasaran pembangunan nasional. Dana zakat yang sangat besar sebenarnya cukup berpotensi untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat jika disalurkan secara terprogram dalam rencana pembangunan nasional. Dalam periode tertentu, suatu negara membuat rencana pembangunan di berbagai bidang sekaligus perencanaan anggarannya. Potensi zakat yang cukup besar dan sasaran distribusi zakat yang jelas seharusnya dapat sejalan dengan rencana pembangunan nasional tersebut.
Agar dana zakat dapat disalurkan secara tepat, efisien dan efektif sehingga mencapai tujuan zakat itu sendiri seperti meningkatkan taraf hidup masyarakat. Pengumpulan dan pendistribusian zakat yang terpisah-pisah, baik disalurkan sendiri maupun melalui berbagai charity membuat misi zakat agak tersendat. Harus diakui bahwa berbagai lembaga charity telah berbuat banyak dalam pengumpulan dan pendistribusian dana zakat dan telah banyak hasil yang dapat dipetik. Namun, hasil itu dapat ditingkatkan kalau pengumpulan dan pengelolaannya itu dilakukan oleh negara melalui perangkat-perangkatnya.

4. Kesimpulan
Dari paparan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa APBN tidak dapat memberi stimulus terhadap pertumbuhan ekonomi, disebabkan karena rendahnya daya dorong kebijakan fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini terkait kinerja pemerintah yang masih menggantungkan pengadaan pembiayaan terhadap pinjaman, terutama pinjaman luar negeri.
Dalam kondisi seperti ini pemerintah dituntut kreatif dalam menemukan sumber-sumber pendanaan negara. Di dalam sistem fiskal pemerintahan Islam, salah satunya dikenal pendapatan negara bersumber dari zakat.
Berdasarkan kemampuan membayar zakat, masyarakat muslim dapat kita kelompokkan menjadi tiga golongan : (1) golongan masyarakat Muzakki, (2) golongan masyarakat non-Mustahik/Muzakki, (3) golongan masyarakat Mustahik.
Kebijakan fiskal merupakan tindakan yang diambil pemerintah untuk memperbesar atau memperkecil penerimaan, memperbesar atau memperkecil pengeluaran, atau kombinasi keduanya, untuk tujuan kestabilan ekonomi. Mengintegrasikan zakat sebagai salah satu sumber penerimaan negara, berarti membantu pemerintah meningkatkan pendapatan untuk kestabilan ekonomi tersebut.
Pengembangan potensi zakat diperlukan untuk mengoptimalkan peran zakat dalam perekonomian sebuah negara, terutama untuk mengatasi masalah kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan pengangguran. Penghimpunan potensi zakat dan pendistribusian yang bersifat produktif akan menggairahkan kembali perekonomian negara.
Faktor penting yang juga menjadi pendukung utama dalam mewujudkan zakat sebagai pilar perekonomian adalah wujudnya pelembagaan zakat yang amanah, professional, dan mandiri. Sebab, penanganan keseluruhan terhadap zakat tidak mungkin dilakukan tanpa sebuah lembaga yang jelas.
Beberapa alasan mengapa zakat perlu diintegrasikan ke dalam kebijakan fiskal :
1) Zakat hukumnya wajib, satu-satunya lembaga yang mempunyai otoritas untuk melakukan pemaksaan seperti itu dalam sistem demokrasi adalah negara lewat perangkat pemerintahan, seperti halnya pengumpulan pajak.
2) Potensi zakat yang dapat dikumpulkan dari masyarakat sangat besar.
3) Zakat mempunyai potensi untuk turut membantu pencapaian sasaran pembangunan nasional. Dana zakat yang sangat besar sebenarnya cukup berpotensi untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat jika disalurkan secara terprogram dalam rencana pembangunan nasional.
4) Agar dana zakat dapat disalurkan secara tepat, efisien dan efektif sehingga mencapai tujuan zakat itu sendiri seperti meningkatkan taraf hidup masyarakat.
5) Memberikan kontrol kepada pengelola negara.
















DAFTAR PUSTAKA


Adiwarman karim, Ekonomi Makro Islami, Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2007.

Ali Sakti, “Pengantar Ekonomi Islam”, Jakarta: Modul Kuliah STEI SEBI, 2003.

Didin Hafidhuddin, “Peran Zakat Dalam Pembangunan Ekonomi”, Jakarta, 2000

F.R. Faridi, “A Theory of Fiscal Policy in an Islamic State, Readings in Public Finance in Islam”, Islamic Research and Training Institute (IRTI) - Islamic Development Bank (IDB).

Nuruddin Mhd. Ali, Zakat Sebagai Instrumen Dalam Kebijakan Fiskal, Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2006.

Nopirin, Pengantar Ilmu Ekonomi Makro dan Mikro, Yogyakarta : BPFE, 2000.

Monzer Kahf, The Performance of the institution of Zakah in Theory and Practice, The International Conference on Islamic Economics Towards the 21st Century, Kuala Lumpur - Malaysia, April, 1999.

M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, Surabaya : Risalah Gusti, 1999.

M. Umer Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi, Jakarta : Gema Insani Press, 2001.

Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam, Ekonomi Islam, Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2008.

Soediyono R. Ekonomi Makro Pengantar Analisis Pendapatan Nasional, Yogyakarta, BPFE, 2000.

Suparmoko. Keuangan Negara Dalam Teori Dan Praktek, Yogyakarta, BPFE, 2000.

Taqiyuddin an-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, (An-Nidlam al-Iqtishadi fil Islam), alih bahasa Moh. Maghfur Wachid, cet. v, Surabaya: Risalah Gusti, 2000.

Zainal Muttaqin, Kewajiban Menjadi Muzakki, 1997.

Ziauddin Ahmed, Munawar Iqbal and Fahim Khan (Eds), “Money and Banking In Islam”, International Center for Research In Islamic Economics, King Abdul Aziz University Jeddah and Institute of Policy Studies Islamabad, Pakistan, 1996.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar